Friends

Keblinger

Keblinger

05. Kekeliruan Umum Selama Ramadhan

KEKELIRUAN UMUM SELAMA RAMADHAN
Oleh : Ahmad Rizal

Meski Ramadhan adalah bulan penuh ampunan, untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang kini ‘menyapa’ kita, di bawah ini akan diuraikan beberapa kekeliruan umum yang sering dilakukan orang-orang selama bulan ramadhan.

Hanya orang yang tidak tahu dan enggan saja yang tidak segera bergegas menyambut bulan suci ini dalam arti yang sebenarnya, lahir maupun batin. “Berapa banyak orang yang berpuasa (tapi) tak memperoleh apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga belaka”. (HR. Ibnu Majah & Nasa’i).

Namun, setiap kali usai kita menunaikan ibadah shiyam, nampaknya terasa ada saja yang kurang sempurna dalam pelaksanaannya, semoga poin-poin kesalahan yang seringkali masih terulang dan menghinggapi sebagian besar umat ini dapat memberi kita arahan dan panduan agar puasa kita tahun ini, lebih baik dan bermakna.

1.  Merasa sedih, malas dan tak brgairah menyambut bulan Ramadhan.
Seringkali perasaan malas menyergap mereka yang enggan menahan rasa payah dan penat selama berpuasa. Mereka beranggapan bahwa puasa identik dengan istirahat, sehingga hal ini berefek pada produktifitas kerja yang cenderung menurun. Padahal puasa mendidik kita untuk lebih memiliki daya tahan yang kuat. Semoga hal ini menjadi kata motivasi untuk kita semua, agar tidak bermental loyo dan malas serta tidak berlindung dibalik kata “Aku sedang puasa”.

2.  Berpuasa tapi enggan melaksanakan shalat fardhu.
Banyak yang beranggapan bahwa Ramadhan cukup dijalani dengan puasa semata, tanpa mau mengiringinya dengan ibadah shalat fardhu. Padahal puasa dan shalat termasuk rangkaian yang tidak bisa dipisahkan (rukun Islam). 

3.  Berlebih-lebihan dan boros dalam menyiapkan dan menyantap hidangan berbuka serta sahur.
Hal tersebut seringkali dialami oleh sekian banyak umat manusia. Kendati telah berpuluh-puluh kali menjalankan puasa di bulan Ramadhan, tetapi anggapan banyak orang tentang ibadah puasa tidak berubah. Banyak yang beranggapan bahwa saat berbuka adalah saat “balas dendam” atas sgala keterkekangan  yang melilit selama ± 12 jam.

4.  Berpuasa tapi juga melakukan maksiat.
Dalam Islam, ibadah puasa membatasi kita bukan hanya dari aktifitas yang diharamkan, tetapi juga membatasi kita terhadap hal-hal yang dihalalkan selama di luar Ramadhan, seperti makan, minum, berhubungan suami istri di siang hari. Jika yang halal saja kita dibatasi, apalagi yang haram, jelas lebih dilarang. Seperti menggunjing orang, mengumbar air orang (ngerumpi), mencuri, berkata bohong atau berdusta, membuka aurat di depan umum, melihat aurat lawan jenis yang bukan mahram. Dll. 

5.  Masih tidak merasa malu membuka aurat (khusus wanita muslimah).
Sebenarnya momen Ramadhan bila dijalani dengan segala kerendahan hati, akan mampu menyingkap hijab ketinggian hati dan kesombongan sehingga seseorang muslimah akan mampu menerima segala tuntunan dan tuntutan agama dengan hati yang lapang. Saat Ramadhan serba tertutup, saat lepas Ramadhan, lepas pula jilbabnya, ini sebuah pemahaman agama yang setengah-setengah.

6.  Menghabiskan waktu siang hari dg tidur berlebihan.
Barang kali hal ini akbiat dari pemahaman hadits Rasul “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”. Memang selintas perilaku tidur disiang hari adalah sah, namun tidur yang bagaimana yang dimaksud oleh hadits di atas? Tentu bukan sekedar tidur yang ditujukan hanya untuk menghabiskan waktu, menunggu waktu berbuka, atau sekedar bermalasan. Aktifitas tidur akan berpahala jika : Tidurnya akbiat kelelahan fisik kita setelah mencari rezeki halal atau diniatkan untuk persiapan menghidupkan saat malam hari dengan ibadah. Dan tentunya untuk menghindari aktifitas yang dikhawatirkan akan melanggar rambu-rambu ibadah Ramadhan, semisal menggunjing, jalan-jalan untuk cuci mata, mencuri dsb.

7.  Meninggalkan shalat tarawih tanpa halangan.
Shalat tarawih adalah ibadah sunah, tetapi bila kita kaji secara dalam, niscaya kita akan dapatkan bahwa berpuasa Ramadhan minus shalat tarawih adalah suatu hal yang disayangkan, mengingat amalan sunah ini diganjar sama seperti amalan wajib. 

8.  Sering meninggalkan shalat fardhu secara berjamaah tanpa halangan (terutama laki-laki).
Hukum shalat fardhu secara berjamaah dikalangan para ulama adalah fardhu kifayah, bahkan ada yang  berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain, berdasarkan kisah Rasulullah yang ingin membakar rumah kaum muslimin yang tidak berjamaah di masjid, sebagai sebuah ungkapan atas  kekecewaan beliau terhadap kaum muslimin yang enggan pergi ke masjid.  

9.  Lebih sibuk memikirkan persiapan hari raya daripada amalan puasa.
Banyak yang sibuk tentang apa yang akan dipakai di hari raya dibanding memikirkan apakah puasanya pada tahun ini diterima Allah atau tidak. Pada hari-hari puncak Ramadhan, banyak yang lebih sibuk berbelanja ini dan itu, puasa yang bermakna menahan diri, justru membongkar jati diri mereka yang sebenarnya, pribadi-pribadi “produk Ramadhan” yang begitu konsumtif, memborong apa saja yang mereka mampu beli. Tak terasa ratusan ribu bahkan jutaan rupiah mengalir begitu saja, padahal di luar Ramadhan belum tentu mereka lakukan. Sehingga perilaku hemat yang seharusnya dilakukan di bulan Ramadhan tidak dilakukan karena perilaku boros selama bulan Ramadhan. semoga sentilan  yang menyatakan orang Islam tidak konsisten dengan agamanya, karena bulan Ramadhan yang seharusnya bersemangat menahan diri dan berbagi, ternyata malah memupuk semangat terhadap hal-hal yang kurang bermanfaat dan cenderung boros. 


Uraian di atas merupakan kesalahan umum yang sering dilakukan umat manusia selama bulan Ramadhan. Dari uraian di atas mungkin masih terdapat kekeliruan lainya seperti, semakin jarang membaca Al Qur’an, semakin jarang bersedekah, tidak tertarik memburu malam Lailatul Qadar dll. Semoga Allah selalu menganugerahi kita dengan rahmat-Nya, sehingga mampu menghindari kesalahan-kesalahan yang seringkali menghinggapi mayoritas umat Islam. Amin.Sehingga pada Raamdhan tahun ini kita bisa menjalaninya dengan lebih baik dari Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Amin.

04. Menyongsong Ramadhan

MENYONGSONG RAMADHAN
Oleh : Ust. Mustofa W Hasyim

Pada hari ini kita perlu menyuburkan rasa gembira dihati kita, karena kita semua akan segera memasuki bulan penting, yanitu bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan ini kita diperintahkan menjalankan ibadah puasa selama sebulan.

Perintah beribadah puasa di bulan Ramadhan ini sangat jelas sebagaimana tercantum di dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 183 “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana kaum-kaum terdahulu, agar kalain semua bertakwa.”

Rasulullah Muhammad saw bersama para sahabat  selalu gembira menyambut datang bulan Ramadhan. Mereka gembira, terharu, dan memenuhi hatinya dengan rasa syukur karena akan dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan. Bulan penuh berkah ampunan dan pahala.

Rasulullahbersama para sahabatnya, dalam banyak riwayat disebutkan bagaimana selama bulan Ramadhan selalu mengisi waktu-waktunya dengan beribadah dan menolong orang lain agar mudah dalam menjalankan ibadah. Mereka mendirikan shalat wajib mereka juga melakukan shalat sunat, terutama shalat malam, memperbanyak membaca Al Qur’an, memperbanyak sedekah dan ta’jil sehingga orang yang kurang mampu terkurangi beban hidupnya lalu dapat ikut memperbanyak amal ibadahnya sebagaimana para tetangganya yang mampu. Selama Ramadhan kita bisa berbagi kebahagiaan dan kegembiraan kepada sesama manusia.

Kalau kita sudah tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang menggembirakan dan membahagiakan kita semua, bagaimana cara kita menyongsongnya ? caranya sederhana. Kita mempersiapkan diri kita, keluarga kita, dan para tetangga agar lebih mudah dan lebih terbangun semangatnya ketika menjalankan ibadah selama bulan Ramadhan.. baik ibadah wajib maupun sunah.

Pertama, tentu kita kuatkan niat kita, bahwa menjalankan ibadah puasa adalah bagian dari ajaran islam. Menjadi bagian dari kewajiban dan kebutuhan kita sebagai orang beriman dan sebagai manusia muslim. Tujuanya, jelas, kita memproses diri kita bersama keluarga dan para saudara muslim agar semakin meningkatkan ketaqwaan. Bertaqwa sebagai kata kerja, bukan sebagai kata benda. Artinya kita mengaktifkan diri pada banyak kegiatan yang mendekatkan kita pada peningkatan kualitas taqwa kita.

Kedua, kita persiapkan kebersihan hati, pikiran, tubuh, jiwa, pakaian, tempat ibadah yang kita miliki. Kita menjauhkan diri dari hal-hal yang mengotori hati, pikiran, tubuh dan jiwa kita. Lalu pakaian yang akan kita kenakan selama Ramdhan adalah pakaian kita yang paling bersih, suci dan harum.

Untuk membersihkan tempat ibadah, biasanya di kampung atau di desa sudah dibentuk panitia bulan Ramadhan yang telah memiliki program atau kegiatan kerja bakti ramai-ramai membersihkan masjid, musholla atau surau/langgar. Kerja bakti ini biasanya berlangsung dalam suasana gembira. Warga semua usia dilibatkan. Mulai dari anak-anak, remaja, pemuda dan orang dewasa, termasuk ibu-ibu, semua saling bantu-membantu membersihkan tempat ibadah dan lingkungan sekitar. Juga tidak lupa membersihkan tikar, meja, bangku, karpet, memperbaiki pengeras suara, menyiapkan alat untuk ta’jil dan lain-lain.

Oleh karena itu dalam upaya menyongsong bulan yang penuh berkah dan ampunan ini. Hendaknya memang diebntuk panitia Ramadhan agar dapat disusun agenda kegiatan yang sesuai dengan spirit Ramadhan dan sesuai dengan semangat islam yang hendak kita syiarkan.

Bulan Ramadhan juga sering disebutsebagai bulan pendidikan dan bulan keluarga. Oleh karena itu ceramah, lomba-lomba yang diadakan atau kegiatan lain yang diadakan di masjid, musholla, surau atau langgar-langgar hendaknya mencerminkan suasana pendidikan dan suasana pembinaan keluarga muslim yang utuh, indah dan produktif dalam amal kebajikan.

Jika selama bulan Ramadhan, anak-anak kita, saudara-saudara muslim kita menjadi semakin menghormati orang tua dan guru serta semakin menyayangi saudara-saudara muslim lainya serta semakin peduli dengan nasib dan penderitaan sesama muslim lainya, maka boleh dikata proses pendidikan dan proses pengakraban dalam keluarga dan lingkungan sekitar disebut berhasil. Tapi apabila hal tersebut belum terpenuhi maka bisa jadi proses pendidikan dan pengakraban yang kita lakukan belum mendapat hasil yang maksimal.  Maka pendidikan dan pengakraban tersebut harus kita lakukan secara terus menerus.

Kalau dalam setiap khutbah Jumat kita selalu diperingatkan agar kita terus menjaga ketqwaan dan menambah ketaqwaan kita, maka selama bulan Ramadhan kita diperintahkan untuk membuktikan diri kita bahwa taqwa kita memang mampu kita tingkatkan. Bertaqwa kita perlu kita jadikan sebagai kata kerja, dalam arti menajdi bagian aktif dari perilaku kita sehari-hari. Dengan perilaku bertaqwa seperti ini insya Allah pertolongan Allah Swt akan selalu bersama kita. Amin..

Oleh karena itu mari kita menyongsong Ramadhan, bulan yang penuh berkah, pahala dan ampunan ini dengan sebaik-baiknya dan dalam suasana hati gembira mengharap rahmat-Nya. semoga Allah senantiasa meridhai perjuangan kita. Marilah kita berdoa semoga selama bulan Raamdhan ini kita selalu mendapat bimbingan dari Allah swt serta kita dipertemukan kembali pada Raamdhan-ramadhan berikutnya. Amin ya Rabbal ‘Alamin.




03. Fastabiqul Khairat, Budaya yang Tertinggal atau Ditinggalkan ?

FASTABIQUL KHAIRAT, BUDAYA YANG TERTINGGAL ATAU DITINGGALKAN ?
Oleh : Ust. Muhcin Hariyanto, M.Ag

 “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS al-Baqarah, 2: 148).
Hidup adalah fungsi dari waktu. Ia terus saja berjalan, tidak ada penundaan. Maka tataplah jam yang melekat di dindingmu, adakah ia menunggu?
Ini sebuah kisah tentang seorang lelaki surga yang tak mau menunggu, ia menjadi yang terdepan dalam kebaikan. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah s.a.w. memaparkan profil penghuni surga tanpa azab dan hisab mulai dari para nabi hingga Nabi Muhammad. Para sahabat sudah mulai kasak-kusuk, menduga-duga, gusar, bagaimanakah gerangan rupa istimewa tersebut?
Ketika itu Nabi s.a.w. bertanya kepada para sahabatnya, “Apa yang kalian bicarakan?”, maka setelah mereka memberitahukan, Sang Nabi s.a.w. pun bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan ruqyah, tidak meramal yang buruk-buruk dan kepada Rabbnya mereka bertawakkal.”
Tiba-tiba saja, seorang lelaki bangkit dan berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka”. Setelah itu, ada lagi lelaki yang bangkit, untuk kedua kalinya dengan permintaan yang sama, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka”, Rasulullah s.a.w. pun menjawab, “Engkau sudah di dahului 'Ukasyah”.

Yah, pemuda yang pertama kali bangkit adalah 'Ukasyah bin Mihsan. Ukasyah tidak perlu menunggu untuk menjadi yang kedua. Karena keberaniannya pada kesempatan yang pertama, permohonannya di ‘amini’ oleh Rasulullah s.a.w. Seperti api yang menyala-nyala, seperti itulah semangat Ukasyah yang hadir di awal, bukan di akhir. Inilah sahabat Rasulullah s.a.w., mereka memiliki satu budaya yang sudah lama kita tinggalkan. Budaya Fastabiqû al-Khairât (berlomba-lomba dalam kebaikan.)
“Mereka itu bergegas segera dalam meraih kebaikan, Dan merekalah orang-orang yang terdahulu memperolehnya," (QS al.-Mu’minûn, 23 : 61).
Ketika turun ayat tentang hijâb, tanpa membuang tempo, para shahabiyah (para sahabat perempuan Nabi s.a.w.) langsung mengambil kain-kain mereka dan melilitkan ke seluruh tubuhnya. Para shahabiyah yang berada di pasar-pasar lantas tidak langsung pulang ke rumah. Mereka memilih untuk bersembunyi di balik batu-batu besar, menunggu malam yang sepi barulah mereka pulang ke rumah. Lagi-lagi Ini adalah bukti, bahwa sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang memiliki budaya Fastabiqû al-Khairât, budaya tak mau menunggu dan selalu berkompetisi dalam ketaatan.
Faktanya, kondisi kekinian dalam masyarakat kita berbeda, budaya kompetisi ini lebih di gandrungi dalam ranah keduniaan. Kitapun Berlomba-lomba dalam memperkaya diri, mempercantik rupa, menggagah-gagahkan sikap, mengejar jabatan, mencicil gelar demi gelar dan menumpuk atribut-atribut keduniaan lainnya.
"Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti dimana yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya,” (HR Bukhari dan Muslim dari 'Uqbah bin 'Amir).
Jikalaupun kita memperoleh dunia, maka teruslah melangkah sebagai orang yang dititipi amanah, berjalanlah sambil menunduk, indahkan titipan itu dengan keihklasan dan niat pengabdian kepada umat.
Purwarupa Orang-orang Pilihan
Fastabiqû al-Khairât adalah purwarupa orang-orang yang terpilih. Dalam QS Fâthir. 35: 32, Allah menggambarkan purwarupa  manusia menjadi tiga jenis.
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba kami, lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar,” (Q Fâthir, 35: 32).
Jenis Pertama adalah mereka yang zalim. Keburukan mereka lebih banyak daripada kebaikan yang mereka ukir. Mereka menghabiskan usia pada perkara-perkara yang Allah tidak ridhai.
Jenis yang kedua adalah mereka yang pertengahan. Dalam artian, di satu waktu mereka melakukan keburukan tetapi di waktu lain merekapun melakukan kebaikan. Merekalah orang yang ibadahnya jalan, keburukannya pun jalan.
Dan jenis yang ketiga adalah mereka yang selalu membangun budaya Fastabiqû al-Khairât, berlomba-lomba dalam ketaatan. Inilah karakteristik dari sahabat Rasulullah s.a.w.
Karena budaya Fastabiqû al-Khairât inilah para sahabat Nabi s.a.w. pantas dikatakan “khairu ummah” atau generasi yang terbaik. Mereka tidak pernah melewatkan momentum untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Tak rela melepaskan kesempatan untuk mengisi setiap desahan nafas dalam ketaatan kepada Allah. Mereka selalu memaksimalkan setiap pintu kebaikan yang Allah bukakan.
Sejenak menengok purwarupa di atas, adakah kita menjadi manusia jenis ketiga? Jawabannya tentu kembali kepada diri kita masing-masing.
Saatnya kita merenung, alangkah berbedanya ghirah/semangat beribadah para sahabat dengan kebanyakan dari kita sekarang. Seringkali kita tidak memiliki semangat untuk ber-fastabiqul khairat- . Kita seolah merasa cukup dan baik-baik saja berada di luar arena, menjadi penonton atau bahkan komentator, pengeritik perlombaan kebaikan yang dilakukan oleh orang lain.
Ketika orang lain mengenakan hijâb secara sempurna, kita sering mengomentari mereka “Terlalu 'ekstrim' lah, 'kampungan' lah” dan sebagainya. Ataupun di saat yang lain bersedekah, kita berpikir mereka mungkin mencari muka atau ingin dibilang pemurah. Ketika saudara kita menahan perkataan untuk mengamalkan sebuah hadis, kita lantas menyimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang sombong yang pelit perkataan. Dan di saat yang lain memanjangkan sujudnya, terbersit di hati, mereka hanya ingin dikatakan khusyu’ saja.
Terkadang kita memosisikan diri sebagai komentator dan kritikus tanpa terlibat dalam perlombaan meraih ridha Allah.
Sebuah peran yang teramat melelahkan, membuang-buang waktu. Adalah sebuah musibah jika kita kehilangan kesempatan dalam ketaatan kepada Allah, lantas kita tenang-tenang saja Tak inginkankah kita meraih surga seperti 'Ukasyah?
Maka Jangan hanya jadi penonton, mari membangun budaya yang telah lama tertinggal. budaya Fastabiqû al-Khairât. Sehingga di Akhirat nanti kita termasuk orang-orang yang beruntung. Amin
Wallâhu A’lam...




02. 10 Amalan Pengantar Surga

10 AMALAN PENGANTAR SURGA
Oleh : Fahmi Salim, MA

“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa....” (QS Al Baqarah : 197)
Jalan menuju surga memang berliku dan dipenuhi dengan duri. Akan tetapi sesungguhnya ada banyak amalan-amalan yang mudah dilakukan namun Allah membalasnya dengan ganjaran yang sangat besar. Berikut merupakan beberapa amalan-amalan yang ketika dilakukan secara terus menerus Insya Allah akan mengantarkan pelakunya menuju surga. Amin

1.  Berdzikir kepada Allah. Rasulullah bersabda “Ada dua kalimat yang ringan bagi lisan manusia, berat dalam timbangan dan dicintai  ar-Rahman: ‘Subhanallah Wabihamdih’ (Maha Suci Allah dan dengan pujian-Nya kami memuji), ‘Subhanallahil Adzim’ (Maha suci Allah dzat yang maha agung.)” (HR Bukhari Muslim). Rasulullah bersabda “Saya membaca ‘Subhanallah, Walhamdulillah, Walailahaillallah, Wallahu Akbar, sungguh aku lebih cintai dari pada dunia dan seisinya.” (HR Muslim). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang manusia mengamalkan satu amalan yang dapat menyelamatkan dari adzab Allah melainkan dzikir kepada Allah.” (HR ath-Thabrani dengan sanad yang hasan dan al-Allamah Ibnu Baz menjadikanya hujjah dalam kitab Tuhfal al-Akhyaar)

2.  Meridhai Allah, Islam dan Rasul-Nya. Rasul bersabda, “Tidaklah seorang hamba muslim mengucapkan pada saat dia memasuki waktu pagi dan memasuki waktu petang: ‘Radiitubillahi Rabba, Wabil Islami Diina, Wabi Muhammad Nabiaa (Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan muhammad sebagai Nabi-ku) sebanyak tiga kali, melainkan merupakan hak bagi Allah untuk meridhainya pada hari kiamat kelak.” (HR Ahmad dan dihasankan oleh al-Allamah Ibnu Baz dalam kitab Tuhfah al-Akhyaar)

3.  Mencari Ilmu Syar’i. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim).

4.  Menahan Marah. Rasul bersabda, “Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskanya, niscaya Allah akan memanggilnya pada hari kiamat dihadapan para makhluk sampai Allah memilihkan untuknya bidadari-bidadari yang dia suka.” (Dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan disepakati oleh Syaikh al-Albani.

5.  Membaca Ayat Kursi. Rasulullah bersabda, “barang siapa yang membaca ayat kursi setiap selesai shalat, maka tidak ada yang dapat mengahalnginya untuk masuk surga kecuali jika dia mati.” (HR. An-Nasaa’i dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani). Maksudnya adalah jika dia mati, dia akan masuk surga dengan rahmat dan karunia Allah swt.

6.  Menyingkirkan gangguan di jalan. Rasulullah saw bersabda. “Sungguh aku telah melihat seorang lelaki mondar-mandir di dalam surga dikarenakan sebuah pohon yang dia tebang dari tengah jalan yang selalu mengganggu manusia” (HR Muslim). Dalam hadits yang lain rasulullah bersabda, “Ada seorang lelaki berjalan melewati ranting pohon yang ada ditengah jalan, lalu ia berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku akan singkirkan ranting ini dari kaum muslimin agar tidak mengganggu mereka.’ Maka dia pun dimasukan ke dalam surga.” (HR Muslim)

7.  Membela kehormatan sudaranya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa membela harga diri saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan memalingkan wajahnya dari api neraka.” (Dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam al-Albani). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang Allah lindungi dari keburukan apa yang ada diantara kedua rahangnya (Mulut) dan keburukan yang ada diantara dua pahanya (Kemaluan), niscaya dia akan masuk surga” (Dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dna disepakati oleh Syaikh al-Albani).

8.  Menjauhi debat kusir walaupun benar. Sabda Rasul “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah dibagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR Abu Daud dan dihasankan oleh Syaik al-Albani).
9.  Berwudhu lalu shalat dua rakaat. Rasul bersabda “Tidaklah seorang muslim berwudhu lalu ia baguskan wudhunya, kemudian dia berdiri shalat dua rakaat dengan menghadapkan hatinya dan wajahnya pada kedua rakaat itu, melainkan surga baginya.” (HR Muslim).
10.         Pergi shalat ke Masjid. Rasul bersabda “Berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan untuk menuju masjid, mereka akan mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani). Dalam hadits lain rasul juga bersabda “Barang siapa yang ke masjid atau pulang dari masjid, niscaya Allah akan persiapkan baginya nuzul di dalam surga setiap kali dia pergi dan pulang.” (HR Bukhari dan Muslim).



01. Malaikat dan Khutbah Jumat

MALAIKAT DAN KHUTBAH JUMAT
Oleh : Lidus Yardi (Sekretaris Majelis Tabligh PD Muhamamdiyah Kuansing)

Dalam hadis shahih dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, artinya: Pada hari Jumat, di setiap pintu masjid ada malaikat yang mencatat orang yang akan salat satu persatu. Jika imam telah duduk (di mimbar saat adzan), mereka melipat lembaran catatan (keutamaan amal) dan datang mendengarkan peringatan (HR. Bukhari: 3039 dan Muslim: 850).

Hadis tersebut menjelaskan beberapa perkara menyangkut ibadah Jumat. Pertama, pada hari Jumat ada malaikat yang bertugas di setiap pintu masjid untuk mencatat jamaah yang datang sebelum khatib naik mimbar. Kedua, orang yang mendatangi masjid lebih awal untuk melaksanakan salat Jumat dan menunggu waktu masuk sambil berdzikir kepada Allah Ta’ala memiliki keutamaan, yaitu masuk dalam catatan kebaikan yang ditulis malaikat. 

Ketiga, malaikat menyudahi catatannya lalu melipat lembaran catatan itu apabila khatib telah naik mimbar. Artinya, jamaah Jumat yang datang setelah khatib naik mimbar tidak akan dicatat oleh malaikat. Karena itu hilanglah kesempatan untuk mendapatkan nilai keutamaan menghadiri shalat Jumat di awal waktu. Keempat, malaikat juga mendengarkan khutbah Jumat (peringatan) yang disampaikan oleh khatib. 

Dari penjelasan hadis tentang malaikat mendengarkan khutbah Jumat tersebut, dapat ditarik beberapa pelajaran. Pertama, hari Jumat memiliki keistimewaan. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqih Sunnah (Jilid 1) menulis sebuah hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, di mana Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wassalam menjelaskan bahwa hari Jumat lebih mulia dari hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: Sebaik-baik hari di mana matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam AS diciptakan dan dimasukan ke surga. Dan pada hari itu pula ia dikeluarkan dari surga. Kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jumat (HR Muslim).

Banyak keutamaan amaliyah hari Jumat yang dijelaskan dalam hadis. Sehingga Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wassalam memberi bimbingan khusus dalam menyikapi hari Jumat, seperti mandi dan mengenakan pakaian yang terbaik, serta memakai wewangian (HR. Bukhari Muslim). Baihaqi meriwayatkan dari sahabat Jabir RA bahwa Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wassalam memiliki pakaian khusus yang hanya dipakai saat-saat hari raya dan Jumat. 

Kedua, berdosa seorang laki-laki muslim dengan sengaja meninggalkan salat Jumat. Karena Allah Subhaana Wa Ta’ala telah perintahkan secara jelas dan tegas dalam QS al Jumu’ah ayat 9 untuk melaksanakan salat Jumat dan mendengarkan khutbah. Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wassalam juga bersabda: Barang siapa meninggalkan tiga kali shalat Jumat tanpa udzur (alasan) maka ia tercatat sebagai golongan orang-orang munafik (HR Thabrani). Dalam hadis riwayat Muslim dijelaskan, hati orang yang meninggalkan shalat Jumat akan dikunci oleh Allah Subhaana Wa Ta’ala dan menjadikan mereka pelupa.

Ketiga, dilarang melakukan aktivitas yang melalaikan mendengar khutbah Jumat. Terlebih lagi berbicara saat khutbah, yang menurut sebagian ulama dapat membatalkan ibadah Jumatnya. Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Jika engkau berkata kepada saudaramu, “diamlah!”, pada hari Jumat dan imam sedang berkhutbah, maka engkau telah berbuat sia-sia” (HR Bukhari Muslim).

Banyak aktivitas yang dinilai sia-sia dilakukan oleh sebagian jamaah Jumat bahkan pengurus masjid saat khutbah berlangsung. Misalnya, khutbah mulai berlangsung pengurus masjid atau garim-nya malah berjalan di depan jamaah minta infak. Apakah orang yang meminta  infak ini tidak butuh mendengarkan khutbah? Bukankah itu mengganggu pandangan jamaah yang sedang mendengar khutbah?

Ada lagi di sebagian masjid, suasana khutbah Jumat selalu terganggu oleh suara gaduh kotak infak yang dijalankan di depan jamaah. Ada kotak infak  pembangunan masjid, anak yatim, panti asuhan, PDTA, MTQ, dan organisasi keagamaan yang berderetan. Apalagi bahan kotak infak tersebut ada yang terbuat dari seng. Meskipun hal itu tidak ada larangan, tetapi kotak infak tersebut berpotensi mengganggu konsentrasi jamaah mendengarkan khutbah. Apakah tidak cukup semua kotak infak tersebut diletakkan saja di dekat pintu masuk masjid?

Keempat, pentingnya memperhatikan kualitas khutbah. Khatib harus ingat bahwa malaikat juga mendengarkan khutbah. Rukun dan syarat khutbah harus terpenuhi. Pembahasan khutbah Jumat harus berlandaskan kepada Alquran dan hadis. Disampaikan menarik, jelas, singkat, dan tegas. Dan khutbah bukan tempat melawak. 

Sahabat Jarir RA mengabarkan bagaimana Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wassalam berkhutbah, yaitu matanya memerah, suaranya keras, dan semangatnya bangkit bagaikan seorang panglima perang yang sedang memperingatkan kedatangan musuh.


Jika khatib tidak bersemangat dalam khutbah, inilah yang menyebabkan jamaah biasanya mengantuk dan tertidur. Sebab itu khatib memiliki tanggung jawab moral untuk membangkitkan ghirah beribadah Jumat. Khatib dituntut menyampaikan khutbah yang menambah wawasan dan keimanan. Tidak terjebak dalam kisah isriliyat (mengada-ada) dan menyebarkan hadis dha’if bahkan maudhu’. Sebab itu, tidak sembarangan orang seharusnya menyampaikan khutbah. Karena saat khutbah berlangsung, malaikat turut  mendengarkan! Wallahu A’lam.