Friends

Keblinger

Keblinger

Jangan Benci Aku Mama. !!

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantikhttp://www.assoc-amazon.com/e/ir?t=widgetsamazon-20&l=btl&camp=213689&creative=392969&o=1&a=B004H1GT9Y mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.
Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan http://www.assoc-amazon.com/e/ir?t=widgetsamazon-20&l=btl&camp=213689&creative=392969&o=1&a=1231374594kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.
Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpihttp://www.assoc-amazon.com/e/ir?t=widgetsamazon-20&l=btl&camp=213689&creative=392969&o=1&a=9798692209 tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!" Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, "Tunggu... sepertinya saya mengenalmu.
Siapa namamu anak manis?"
"Nama saya Elic, Tante."
"Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"
Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah filmhttp://www.assoc-amazon.com/e/ir?t=widgetsamazon-20&l=btl&camp=213689&creative=392969&o=1&a=B0000D7J55 yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric...
Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping.
"Mary, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu." Tapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak...
Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric... Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubukhttp://www.assoc-amazon.com/e/ir?t=widgetsamazon-20&l=btl&camp=213689&creative=392969&o=1&a=979924806X tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah.
Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. .. Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?" Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."
Saya pun membaca tulisan di kertas itu...
"Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...?
Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..." Saya menjerit histeris membaca surat itu.
"Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!"
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
"Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana ... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana .
Nyonya,dosa anda tidak terampuni!"
Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi. (kisah nyata di irlandia utara)

Kisah Menginspirasi Manti Robert

Alkisah, seorang anak petani miskin di Amerika Serikat bernama Manti Robert. Dalam sebuah pelajaran sekolah, seorang guru memberi tugas kepada seluruh siswa untuk mengarang tentang impian masing-masing. Dalam tugas itu setiap siswa hanya diberi waktu satu minggu untuk menyelesaikan karangan mengenai impiannya. Sepulang sekolah Manti Robert kecil segera menuju sebuah gubuk sawah di pinggiran sungai tempat di mana biasanya ia berkhayal tentang masa depannya. Ia pun segera menuliskan secara terperinci mengenai apa yang ia inginkan di masa yang akan datang.

Dalam karangan tersebut, Manti Robert menuliskan bahwa ia ingin memiliki sebuah rumah mewah yang terdiri dari beberapa kamar yang terbuat dari kayu dengan kualitas nomor satu. Rumah yang ia miliki terdapat sebuah kolah renang disampingnya, halamannya cukup untuk menampung parkir 30 mobil, ada ruang pertemuan yang bisa menampung seratus orang, terdapat ruang baca (perpustakaan pribadi) lengkap dengan perangkat multi medianya. Lampu rumah terbuat dari kaca berlapis perak yang sangat indah, di lantai atas terdapar ruangan kosong tanpa atap untuk dapat melihat matahari terbit dan matahari tenggelam, serta untuk menyaksikan indahnya cahaya rembulan di malah hari. Rumah tersebut berada di sebuah komplek peternakan yang sangat luas. Dan di dalam peternakan tersebut terdapat sebuah areal untuk pacuan kuda. Di dekat peternakan tersebut terdapat kolam ikan yang sangat luas. Di dekat kolam ikan terdapat kebun buah-buahan dan sayur-sayuran. Samua ia tulis secara jelas mendetail. Semuanya sangat jelas tergambar tanpa ada satu hal pun yang samar-samar.

Setelah satu minggu mengarang, Manti Robert kecil segera mengumpulkan karangannya kepada gurunya, karangan tersebut setebal tujuh lembar. Beberapa hari setelah membaca karangan anak petani tersebut, sang guru menyerahkan karangan dengan memberikan nilai “F” di sana, yang artinya “Fail” atau gagal. Dengan terkejut Manti Robert kecil pun segera bertanya kepada sang guru. “Guru telah memerintahkan saya untuk mengarang mengenai impian saya, dan saya telah mengarang impian saya seperti yang telah guru perintahkan. Tapi kenapa saya dapat nilai “F”? Sang guru tersenyum dan menjawab dengan sinis. “Manti Robert, Anda hanya seorang anak petani, dan impianmu tidak mumbumi, sehingga saya kasih kamu nilai “F”. Tapi, kalau kamu merubah karangan kamu, mungkin saya akan meluluskan”.

Dengan sedih dan kebingungan Manti Robert pulang dan mengadukan hal ini kepada ayahnya. “Ayah, saya disuruh mengarang tentang impian saya oleh guru. Dan saya dapat nilai “F”. Apa yang harus saya lakukan?”. Setelah membaca karangan putranya, sang ayah dengan bijaksana menjawab. “Manti Robert, kamu adalah orang yang paling tahu tentang masa depan kamu. Dah ayah yakin kamu akan mengambil yang terbaik demi masa depan kamu”. Setelah seminggu memikirkan kata-kata ayahnya, Manti Robert datang kepada gurunya dengan membawa karangannya tanpa mengubah satu kata pun. Kemudian ia berkata, “Guru, Anda dapat mempertahankan nilai “F” Anda, dan saya akan mempertahankan impian saya”.

Yang paling menarik dari kisah ini adalah suatu ketika seorang anak petani miskin, bernama Manti Robert berhasil mewujudkan apa yang ia impikan samasa sekolah. Ia berhasil memiliki rumah mewah yang di sana terdapat kolam renang, berada di komplek peternakan, yang terdapat pacuan kuda dan kebun buah serta sayur di sekitarnya, persis seperti yang tertulis dalam karangannya waktu ia masih sekolah dulu. Dan suatu ketika sang guru yang memberinya nilai “F” datang kepeternakannya, ia menyaksikan terdapat bandel kertas yang isinya sebuah karangan Manti Robert semasa sekolah tergantung rapi di atas perapian dan masih ada nila “F” di sana. Sang guru pun menepuk pundak Manti Robert seraya berkata, “Manti Robert, Anda adalah satu-satunya oarang yang telah mengingatkan saya, bahwa ternyata saya adalah pencuri mimpi”.


Pimpinan Komisariat IMM Akbid Muhamamdiyah Kotim Mengukir Sejarah Baru

SAMPIT – Pimpinan Komisariat (Pikom) IMM Akbid Muhammadiyah Kotim mengukir sejarah baru setelah mereka menyelenggarakan pengkaderan tingkat Dasar yang  disebut  Darul Arqam Dasar (DAD). Pikom IMM Akbid Muahmmadiyah Kotim belum lama terbentuk, dan dalam sejarah berdirinya, ini adalah kali pertama mereka menyelenggarakan kegiatan DAD.

Kegiatan yang berlangsung di Balai Penataran Guru (BPG) kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalimantan Tengah ini akan diselenggarakan pada tanggal 14-18 September 2016 dengan mengusung tema “Menciptakan kader IMM yang Berprinsip Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah dalam Mewujudkan Cita-cita Ikatan”.

Dalam acara pembukaan, IMMawati Diah Patmawati selaku Ketua Pelaksana menuturkan bahwa DAD adalah proses perekrutan sebagai syarat utama untuk menjadi anggota IMM sekaligus DAD pertama yang diselenggarakan Pikom IMM Akbid Muhammadiyah Kotim. “DAD ini merupakan DAD pertama yang kami selenggarakan sekaligus menjadi syarat utama untuk menjadi anggota IMM”, katanya.

Ketua Umum Pikom IMM Akbid Muhammadiyah Kotim IMMawati Musyarofah memberikan apresiasi kepada Panitia Pelaksana yang telah mengantarkan kegiatan ini sampai pada pelaksanaanya. Dia menjelaskan bahwa perkaderan seperti ini sangat bermanfaat bagi para Mahasiswa/i.  Selain dapat menimba ilmu dibangku perkuliahan kita juga mampu mengaplikasikan ilmunya dikehidupan masyarakat melalui IMM. “Mahasiswi Akbid Muhammadiyah Kotim tidak hanya mendapatkan ilmu dibangku perkulaiahan namun diharapkan mampu mengaplikasikan ilmunya dikehidupan masyarakat melalui organisasi IMM”, jelasnya.

Sedangkah Ketua Umum Pimpinan Cabang IMM Kotawaringin Timur IMMawati Ayu Oktarizza yang sekaligus menjadi Master Of Training pada kegiatan ini menuturkan bahwa Memilih IMM bukan hanya sekedar memilih tempat untuk berorganisasi atau berkegiatan, tetapi memilih prinsip hidup. Maka kader yang telah mengikrarkan diri bersama IMM harus menghidupkan IMM dalam diri kader. Beliau berpesan kepada para kader dan calon kader Pikom IMM Akbid Muhammadiyah Kotim agar selalu menjalin komunikasi yang baik terhadap lembaga dan selalu bersinergi dalam mengemban dakwah persyarikatan. “Semoga DAD angkatan pertama ini dapat benar-benar diresapi sebagai amanah perkaderan dan ilmu yang didapat agar diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat”, imbuhnya.

Hadir pula pada kegiatan ini Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan Akbid Muhammadiyah Kotim Ayahanda Arifin Mastur, M. Kes, yang sekaligus membuka kegiatan ini secara resmi. Beliau mengatakan bahwa kegiatan semacam ini akan mampu memupuk jiwa kepemimpinan sehingga kedepanya siap untuk menjadi pimpinan persyarikatan Muhammadiyah. “Semoga kedepanya lembaga tetap mampu menjaga IMM di kampus Akbid Muhammadiyah Kotim”, tambahnya.

IMM adalah anak dari muhammadiyah yang terus beristiqomah melakukan perubahan-perubahan yang berkemajuan dalam dunia kemahasiswaan. Keberadaan IMM adalah dalam rangka mengupayakan terciptanya akademisi islam yang berakhlak mulia sehingga terciptanya generasi pemegang estavet kepemimpinan selanjutnya baik di IMM, maupun di Muhammadiyah.  Untuk itu penanaman nilai-nilai dan identitas IMM sangat dibutuhkan dalam forum perkaderan seperti ini. Dengan nilai tri kompetensi dasar yang dimiliki IMM yaitu religiusitas, intlektualitas, dan humanitas, kader IMM diharapkan mampu mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dengan seimbang sebagai basis gerakan. Sehingga dimasa yang akan datang terbentuklah kader-kader Muhammadiyah yang siap mengemban amanah persyariakatan dengan sebaik-baiknya.

KISAH SEORANG IBU

Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.

Ba'da Ashar, "Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. "Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya "Eh,tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya ke
halaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.

"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah" pinta Ibu. "Eh,bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas saya memandang Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.

Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu, siapa itu...?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang" pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.

Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya membaca al-qur'an selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Ke riput, urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak hal? "Dingin" bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu masih terus mengaji, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.

Adzan isya berkumandang,

Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara mushala kecil rumah. Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh Allah, sayangi Mamah" spontan saya memohon. "Neng..." suara ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya, kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan menciumnya.

"Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum manis sekali. "Penyakit orang tua. Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.

Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi.

Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya ber gemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil yang katanya biar saya lebih semangat belajar.

Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :

Kau adalah gemerlap bintang di langit malam

Bukan!, kau lebih dari itu

Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,

Bukan!, kau lebih dari itu,

Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,

Bukan!, kau lebih dari itu

Kau ada lah Sinopsis semesta

Itu saja...

Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan ..

Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup? Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya? Pernahkah..?

Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang" Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah,
menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.

*IBUMU adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan*


WHO AM I ?

 WHO AM I ???
Penulis : Melati Merah Marun

Dalam keadaan sakratul maut, Si Fulan tiba-tiba merasa dirinya berada di depan sebuah pintu gerbang langit. Dan diketuknya pintu gerbang langit.
“Siapa di situ?” ada suara dari dalam.
Lalu Si Fulan menjawab, “Saya, Tuan.”
“Siapa kamu?” “Fulan, Tuan.”
“Apakah itu namamu?” “Benar, Tuan.” 
“Aku tidak bertanya namamu. Aku bertanya siapa kamu.”
“Saya Fulan Bin Fulan”
“Aku tidak bertanya kamu anak siapa. Aku bertanya siapa kamu.” “Saya seorang pejuang” “Aku tidak menanyakan pekerjaanmu. Aku bertanya siapa kamu?” “Saya seorang Muslim, pengikut Rasulullah SAW.”
 “Aku tidak menanyakan agamamu. Aku bertanya siapa kamu.” “Saya ini manusia. Saya setiap hari sholat lima waktu dan saya suka kasih sedekah. Setiap Ramadhon saya juga puasa dan bayar zakat.”
 “Aku tidak menanyakan jenismu, atau perbuatanmu. Aku bertanya siapa kamu.” Fulan tidak bisa menjawab. Ia berbalik dari pintu gerbang langit, gagal masuk kedalamnya karena tidak mengenal siapa dirinya. Ada kalimat yang agung mengatakan, “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. “Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu”.
            Oh my God! Bagaimana jika ilustrasi di atas ternyata benar terjadi saat manusia sakaratul maut, saya yakin akan banyak sekali manusia yang gagal masuk ke dalam, karena saat sang Tuan rumah bertanya siapa kah gerangan yang datang, ia tak mampu menjawab, ya jelas tuan rumah tak akan membukakan pintunya, akhirnya dia pulang dan PASTI kebingungan, ia harus kemana, sebab jatahnya hidup di dunia telah usai. Raganya tak mungkin menerimanya lagi, rumah dan keluarganya tak kan mampu menjadi tempat pulang seperti biasanya. Allahuakabar, saya pun sangat bingung dan takut, karena suatu saat waktu ini akan benar-benar datang untuk menghentikan petualngan ku di tempat yang fana ini. Bagaimana jika saat itu tiba saya masih tidak tau siapa saya? Saya tak bisa membayangkannya. Apa saya masih bisa menangis? Berteriak? Atau bercerita pada ayah, ibu, keluarag dan teman dekat, seperti jika saya bingung atau ketakutan sewaktu ditengah petualangan saya? Inilah ketakutan dan kehawatiran yang saya rasakan sejak pertama jari saya mulai menari di atas keyboard untuk menulis komentar terhadap ilustrasi di atas.
            Sebuah pertanyaan simpel, sangat sederhana dan bahkan terkesan bodoh untuk ditanyakan, namun SANGAT susah untuk dijawab. Ya, inilah soal paling sederhana yang sering saya dengar namun hingga detik saya menulis ini saya tak tau jawaban yang tepat. “Siapa saya?” hanya 2 kata, namun perlu ratusan referensi yang harus dibaca, butuh waktu yang lama serta pemikiran yang sangat dalam untuk memikirkan jawabannya. Saya SANGAT yakin kok, bukan hanya saya yang kesulitan menjawab pertanyaan ini. Malam ini, sebelum menulis esai ini, saya berkumpul dengan teman satu kelas saya sambil bakar jagung dalam rangka melepas seorang teman saya yang akan ke Thailand menunaikan tugas dari kampus (wow, dia luar biasa yah). Saya teringat esai yang harus saya selesaikan, dengan tema yang menurut saya sangat sulit. Saya iseng dan coba bertanya pada beberapa teman saya “kamu siapa?” ada yang hanya menngangkat bahunya tanda tak mau meberi komentar, lalu ada yang bilang “saya mahasiswa”, “saya seorang gadis kecil yang manis dan suka warna pink (padahal dia udah mahasiswa keleessss),” saya adalah wanita cantik yang....”, “saya anak mama sama ayah” lalu ada jawaban yang membuat saya mulai berpikir lebih dalam “saya adalah insan yang diciptakan Allah SWT”, “saya adalah makhluk yang berasal dari tanah dan memiliki sifat tanah, mkanya saya gak pants bersifat langit”, wew, filsafat banget jawabannya.

            Lalu bagaimana dengan jawaban saya? Hingga huruf terkahir yang saya tulis ini saya masih tidak tau siapa saya. Yang saya tau, saya bagaikan daun kering yang terbawa angin, meski tak dapat melihat angin itu, tapi sang daun mampu merasakan energinya yang kuat, yang mampu membawanya kemanapun ia ingin. Meski tak pernah melihat bagaimana angin itu wujudnya, namun sang daun dapat merasaka bahwa angin itu ada. Angin itulah yang menentukan kemana arah daun kering akan melayang. Kadang saya juga berpikir, saya tak ubahnya seperti seorang aktris yang sedang memainkan perannya. Ada sutradara yang sudah menuliskan akan berperan sebagai siapa saya, bagaimana karakter saya, bagaimana jalan cerita hidup saya, dan seperti apa saya berakhir, yang semua itu telah ditulisnya dalam skenarionya. Saya hanya harus berperan sebaik mungkin, melakoni peran saya seapik yang saya bisa, mengikuti alur cerita yang telah dibuatnya, tanpa harus mengeluh apalagi mampu merubahnya. Karena Dialah yang menulis skripnya. Saya juga membayangkan bahwa saya adalah seorang petualang yang diberi tanggungjawab untuk berkelana hingga batas waktu yang telah ditentukan, diberi bekal yang luar biasa (peta berupa Al-Quran dan Hadits, payung berupa akal, makanan berupa nafsu dan keinginan, serta segala Rahman-Nya), saat pulang saya akan diberi hadiah jika selama perjalanan saya mampu menempuh jalan sesuai petunjuk peta yang telah diberi-Nya dan membawa banyak pahala dan mampu membuat Dia yang memberi saya bekal Ridho, namun saya akan mendapatkan hukuman jika ternyata yang saya tempuh adalah jalan yang tidak sesuai dengan peta tersebut hingga yang saya bawa pulang hanya dosa dan akhirnya membuat Dia marah. Oleh sebab itu, saya harus berhati-hati dalam menempuh petualangan ini, saya harus mampu mencapai tujuan pada waktu yang tepat (kematian) yang hanya mungkin didapat melalui jalan yang tepat (sesuai peta saya). Saya juga tak ubahnya bagai garam dilautan, Nama-wujud-sifat-gerak-ilmu-semuanya, bukan garam melainkan laut itu sendiri. "Inna rabbaka ahad - Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia[1]" [1] QS. Al Israa': 60. Saya bernama manusia, bersifat manusia, memiliki ilmu, namun sebenarnya sebutan saya bukanlah manusia, entahlah apa.

            Dari semua inilah saya merasa bahwa saya adalah bukan siapa-siapa, saya tidak akan terbawa kemanapun tanpa angin (Allah) yang membawanya, saya tidak akan ada jika sang sutradara (Allah) tidak menulis peran saya, saya hanyalah bagian dari garam dilautan yang meski nama saya ada, wujud saya sebenarnya ada, sifat, gerak, ilmu dan semua yang ada pada saya ada, namun tetap saja orang menyebutnya lautan.Tak ada yang menyebutnya garam, bahkan lautan garam, tak ada, namun lautan. Itulah saya sebagai manusia dan makhluk lainnya, meski sebenarnya ada dan terlihat, namun sebenarnya tidak ada, karena sesuatu yang ada berasal dari yang tidak ada, semua yanh tampak berasal dari sesuatu yang tidak tampak, semua yang bisa dilihat berawal dari sesuatu yang tidak bisa dilihat. Baca ilustrasi berikut untuk memperjelas pernyataan saya ini, yang saya ambil dari sebuah buku Quantum Ikhlas karangan Erbe Sentanu (2010:2)

“Dimasa lalu ada seorang guru bijak yang selalu menyelenggarakan kuliahnya dibawah sebuah pohon yang tinggi dan besar menjulang kelangit. Dan suatu hari ketika kelas sepianak laki-laki dari guru itu bertanya pada ayahnya dari manakah langit, bumi, dan seluruh isinya, termasuk manusia berasal. Kemudian sang ayah memintanya mengambil satu buah yang sudah kering dan banyak terserak dibawah pohon besar itu, memintanya untuk membelahnya dan melihat isinya. Ketika itu menemukan sebuah biji keringdi dalamnya, sang ayah memintanya untuk terus membelahnya hingga akhirnya menemukan bahwa biji itu ternyata kosong, hampa, tidak berisi apa-apa. Sang ayah kemudian menjelaskan kepada anaknya bahwa seperti pohon raksasa yang sudah berusia ratusan tahun itu, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bermula dari sesuatu yang tidak ada, kosong, dan hampa”. Dari sinilah jelas bahwa sebenarnya saya tidak ada, lalu siapa yang ada?.\

            Jika ditelisik dari sebuah hadits kudsi berikut yang saya ambil dari sebuah blog (http://kalempauu.blogspot.com/: 05 Juni 2015) dan semoga ini bukan hadis yang keliru, akan semakin jelas seperti apa sebenarnya saya jika terus dibelah seperti buah di atas, dan mampu menjawab pertanyaan di atas.

بَنَيْتُ فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغْافًا وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا (الحديث القدسى)
Artinya: “Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad) dan dalam mata hati (fuad) itu ada penutup mata hati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr) dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)

            Terlihat jelas bukan siapa saya sebenarnya? Tidak ada saya jika terus dibedah semakin dalam. Yang ada hanya Saya yang menciptakan saya. Dari sini pula lah saya mengerti bahwa tujuan saya sebenarnya bukan berusaha keras mencari jawaban siapa saya, tapi siapa Saya yang menciptakan saya. Bukan urusan saya untuk memikirkan diri saya sendiri. Urusan saya adalah untuk memikirkan Saya (Tuhan). Dan urusan-Nya lah untuk memikirkan saya. Karena saya itu sebenarnya tidak ada, yang ada hanya Saya. Ternyata inilah yang dimaksud kalimat agung di atas, “siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. Dan ini pulah yang sekaligus menjaid jawaban pertanyaan saya di atas. Entah ini jawaban yang benar atau tidak.

            Selain itu saya juga yakin, saya adalah produk masterpeacenya Saya“Allah”, ini saya yakini dari potongan bait dari surat-Nya yang indah dan selalu menenangkan hati:

Laqad khalaqnaa al-insaana fii ahsani taqwiimin – Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. QS. At Tiin: 4.

Dan kepada manusia, Allah sendirilah yang meniupkan ruh-Nya, “Fa-idzaa sawwaytuhu wanafakhtu fiihi min ruuhii - Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku”. QS. Shaad: 72.

            Dari dua ayat ini, saya yakin, dengan segala Rahman-Nya, ia ingin agar saya tidak hanya menjadi daun kering yang pasrah kemana sang angin membawa, aktris yang rela dengan tiap liku sandiwara yang ditulis untuknya. Dengan kesempurnaan itu, Ia ingin menguji produknya, apakah ia benar-benar layak dikatakan sang masterpeace? Dengan adilnya, Ia berikan kebebasan sang daun memilih dengan adanya arah timur, barat, selatan, dan utara. Ia beri kebebasan si aktris berlaku baik atau buruk dan Ia beri kesempatan padanya untuk memilih jalan cerita hidupnya yang pada dasarnya hanya ada dua pilihan, jalan cerita yang baik atau yang buruk. Terserah sang aktris. Dan Ia telah berikan petunjuk jalan kepada sang petualang dengan kebebasan mau membuka, membaca dan mengikutinya atau tidak, Ia tidak akan rugi sedikitpun dengan pilihan yang telah sang daun, aktris atau petualang (saya) tentukan.
            Karena saya bukanlah saya melainkan Saya, saya hanya ingin menitipkan padaNya setiap pilihan yang saya pilih, karena meski saya yang memilih namun pada akhirnya Saya jualah yang sebenarnya memilih. Kebebasan itu hadir sebagai permukaan, namun jika terus dibedah, maka pada akhirnya yang memilih adalah Saya, bukan saya. Oleh karena itu saya yakin betul, ketika saya MEMILIH apa pun itu di dunia ini, saya pasti mampu melakukannya karena sesungguhnya bukan saya yang memilih dan melakukan semua itu, melainkan Saya Yang Maha Kuasa melakukan apa pun dan Saya yang Maha Tau segalanya. Akhirnya, entah ini benar atau tidak, saya mulai menemukan siapa saya yang sebenarnya yang nyatanya tidak ada saya, melainkan Saya.