Pendapat
Imam Syafie terhadap kenduren arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan
Kenduri
arwah lebih dikenal dengan berkumpul beramai-ramai dengan jamuan (makanan) di rumah simati. Kebiasaan ini
dilakukan pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh,
keseratus setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau
kepada si mati. Mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahwa
terdapat benyak fatwa dari Imam Sayfie dan ulama besar dari kalangan yang bermadzab
Syafie telah melarang dan membid’hkan
perbuatan atau amalan yang menjadi budaya di masyarakat saat ini.
Di dalam
kitab ( اعان ة الط البین ) juz 2. hlm. 146, tercatat larangan Imam Syafie tentang perkara yang
disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:
“Dan
dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari
ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan”.
Seseotrang yang
berlandas aras madzab imam syafie dengan berlandaskan atas hadist – hadist sahih
mereka mengatakan bahwa yang seharusnya menyediakan makanan untuk si mayit
adalah tetangga atau kerabat si mayit bukan keluarga si mati. Yhal ini juga
didukung oleh hadist yang artinya :
“Abdullah
bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi
sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan
yang menyebukkan (kesusahan)”.
Menurut Imam Syafie adalah melarang dengan mengadakan kenduri arwah
semacam ini dan menikmati hidanga di rumah keluarga si mati, apa lagi jika
keluarga si mati merupakan keluarga yang miskin, menanggung beban hutang. Apa lagi
ketika mereka kan mengadakan acara seperti tersebut dan akhirnya harus pinjam
(menghutang) kepada tetangganya dan justru malah menambah beban si mayit, hal
seperti ini tentunya sangat tidak di anjurkan. Telah dinyatakan juga di dalam
kitab ( اعانة الطالبین ) jld. 2. hlm. 146, yang artinya
:
“Imam
Syafie berkata: Dibenci bertetamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh
ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu
yang keji dan ia adalah bid’ah”.
Hal ini juga didukung oleh perkataan Imam
Sayfie yang artinya :
“Dan
antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa
kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai
melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada
hal semuanya ini adalah dilarang”.
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah
(termasuk tahlilan dan yasinan
beramai-ramai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari
keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari
seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan dilarang dan
bid’ah menurut fatwa Imam Syafie. Oleh itu, mereka yang bermazhab Syafie sewajarnya menghentikan
perbuatan yang dilarang dan bid’ah ini sebagai mematuhi wasiat imam yang agung
ini.
Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan
tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya
surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si
Mati. Bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. Wajib diketahui
oleh setiap orang yang beriman bahwa masalah akidah dan ibadah tidak boleh
dilakukan secara suka-suka (tanpa ada dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya),
tidak boleh berpandukan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya
masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Swt telah memberi amaran yang
tegas kepada mereka yang suka meniru perbuatan orang ramai yang tidak ada dalil
atau suruhannya dari syara sebagaimana firmanNya:
"Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang
yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya
mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap
Allah)". (QS.
Al-An'am, 6:116)
Begitu juga sesuatu amalan yang disangkakan
ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan
oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan
atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan
tersebut seperti bacaan al-Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat
dan dikategorikan sebagai ibadah. Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan
apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia
dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah swt:
"Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati)
dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil). Sesungguhnya
mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak
diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah". (QS. Al-Jatsiyah, 45:18-19)
Mengadakan majlis kenduri yaitu dengan
berkumpul beramai-ramai terutamanya
untuk berzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang dilakukan oleh
masyarakat Nusantara di rumah si Mati atau memperingati kematian, maka semuanya
itu benar-benar dihukum bid'ah yang mungkar oleh Imam Syafie sebagaimana
fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermazhab Syafie yang selanjutnya:
"Adapun
menyediakan makanan oleh keluarga si Mati dan berkumpul beramai-ramai di rumah
(si Mati) tersebut maka itu adalah bid'ah bukan sunnah".
Jika dipertimbangkan mengikut logika akal,
amalan membaca fatihah atau membaca
ayat-ayat al-Quran kemudian menghadiahkan pahala bacaannya kepada si Mati
(arwah), tentulah tidak ada salahnya, malah
ia menggambarkan suatu perbuatan yang baik, bagus dan mulia. Begitu juga dengan
membaca al-Quran dengan mengadakan kenduri arwah, tahlilan atau yasinan
beramai-ramai atau berseorangan, sama ada yang dikhususkan di malam-malam
tertentu, di hari-hari tertentu, di bulanbulan
tertentu atau di tempat-tempat tertentu seperti di atas kubur dan sebagainya,
pastinya sekali pandang perbuatan ini adalah baik, malah menggambarkan
pekerjaan terpuji kerana antara tujuannya ialah untuk menghapuskan dosa seseorang (roh orang mati)
di samping mengirim pahala yang dibaca oleh orang yang ramai kepada si mati
untuk mengurangkan penderitaannya. Namun, apabila dikembalikan kepada syara ia
adalah perbuatan bid’ah yang mungkar.
Ada yang berpendapat bahwa bacaan yasin kepada
si mati merupakan amalan yang bisa menghapuskan dosa si mati, seperti yang
tertera pada hadist di bawah ini :
“Barangsiapa
yang menziarahi kubur orang tuanya atau salah
seorang dari keduanya pada hari Jumaat, kemudian membacakan surah Yasin, maka akan diampunkan
dosanya".
Hadis di atas ini adalah hadis batil, palsu
atau tidak ada asal usulnya. Terdapat di dalam sanadnya seorang yang bernama
'Amar yang dikenali sebagai pemalsu
hadis dan banyak meriwayatkan hadis-hadis yang batil.
Imam Muzani mengatakan bahwa "Rasulullah
sallallahu 'alaihi wa-sallam telah memberitahu sebagaimana Allah memberitahu:
Bahawa dosa tiap-tiap orang adalah buat kecelakaan dirinya sendiri sebagaimana
amalannya itu buat kebaikan dirinya sendiri bukan untuk kecelakaan orang
lain". Hal tersebut berarti bahwa setiap kebaikan yang
dilakukan setiap orang akan menjadi kebaikan untuk dirinya sendiri, dan
keburukan yang dilkaukan setiap orang adalah untuk dirinya sendiri.
“Mayat
tidak boleh dibacakan al-Quran sebagaimana keterangan yang ditetapkan oleh
orang-orang terdahulu, bahawa bacaan al-Quran pahalanya tidak sampai kepada si Mati,
lantaran pahala bacaan hanya untuk si Pembaca. Pahala amalan pula tidak boleh dipindah-pindahkan
dari si Pembuat berdasarkan firman Allah Ta’ala: Dan manusia tidak memperolehi
pahala kecuali dari amalan yang dikerjakannya sendiri”.
Amalan mengadakan kenduri arwah dengan
pembacaan surah al-Fatihah, Surah al- Ikhlas, Surah al-Falaq, surah an-Nas,
surah Yasin dan beberapa ayat yang lain secara beramai-ramai amat bertentangan
dengan nas al-Quran, hadis-hadis walaupun dasarnya baik yaiyu membaca ayat-ayat
al-qur’an. Membaca al-Quran berjamaah (beramai-ramai) dengan mengangkat suara
sehingga tidak ketahuan bunyi bacaan dan siapa pendengarnya telah ditegah oleh Allah
di dalam firmanNya:
“Dan
apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-A’raf, 7:204)
Begitu juga al-Quran diturunkan dari langit
bukan untuk dibacakan kepada orang yang sudah mati, tetapi untuk orang yang
masih hidup dan wajib dibaca oleh mereka yang masih hidup, kerana orang mati
sudah tidak mampu lagi mendengar perintah al-Quran sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya
kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar”. (QS. An-Naml, 27:80)
“Dan
tidak sama orang-orang yang hidup dan orangorang yang mati, sesungguhnya Allah
memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendakiNya dan kamu sekali-kali
tiada sanggup menjadikan orang yang dalam kubur dapat mendengar”.
Nabi Muhammad saw telah bersabda bahwa jika
seseorang telah meninggal maka putus hubunganya di dunia ini serta putus pula semua
amal perbuatanya kecuali, Amal shadaqah, ilmu bermanfaat dan anak soleh. Yang dimaskud
anak soleh disini yaitu anak yang selalu menjalankan perintah Allah dan tidak
pernah mengingkarinya serta patuh terhadap syariat yang telah di tetapkan oleh
Allah dan rasul-Nya. karena anak yang soleh itu merupakan jerih payah usaha
semasa di hidupnya.
Jika kita mau mengkaji lebih dalam bahwa
yasinan dan tahilalan secara beramai-ramai di rumah si mati merupakan budaya
yang dilakukan dilakukan oleh orang-orang hindu terdahulu. Mereka memperingati
hari kematian si mati dengan cara berkumpul di rumah korban dengan
bacaan-bacaan kepercayaan mereka, menggunakan sesaji dan menghidangkan minuman
semacam minuman keras. Lalu kemudian pemuka agama terdahulu ingin merubah
kebiasaan tesebut dengan melakukan kegiatan yang sama namun dengan
bacaan-bacaan yang bernafaskan islam dan mengganti sesaji dan minuman keras
dengan makanan-makanan yang menyehatkan. Lalu kemidian kebiasaan seperti ini
terus berkembang dan selalu dilakukan karena sudah menjadi budaya yang beredar
di masyarakat, padahal ulama terdahulu hanya ingin merubah kebiasaan buruk
dengan kebiasaan yang bernafaskan oleh islam, itu merupakan dakwah ulama
terdahulu dalam menyebarkan islam.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memecah
belah antar umat islam melainkan hanya dalam rangka untuk menyebarkan ajaran
islam.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi
pembaca dan bagi masyarakat muslim di Nusantara.