Friends

Keblinger

Keblinger

WHO AM I ?

 WHO AM I ???
Penulis : Melati Merah Marun

Dalam keadaan sakratul maut, Si Fulan tiba-tiba merasa dirinya berada di depan sebuah pintu gerbang langit. Dan diketuknya pintu gerbang langit.
“Siapa di situ?” ada suara dari dalam.
Lalu Si Fulan menjawab, “Saya, Tuan.”
“Siapa kamu?” “Fulan, Tuan.”
“Apakah itu namamu?” “Benar, Tuan.” 
“Aku tidak bertanya namamu. Aku bertanya siapa kamu.”
“Saya Fulan Bin Fulan”
“Aku tidak bertanya kamu anak siapa. Aku bertanya siapa kamu.” “Saya seorang pejuang” “Aku tidak menanyakan pekerjaanmu. Aku bertanya siapa kamu?” “Saya seorang Muslim, pengikut Rasulullah SAW.”
 “Aku tidak menanyakan agamamu. Aku bertanya siapa kamu.” “Saya ini manusia. Saya setiap hari sholat lima waktu dan saya suka kasih sedekah. Setiap Ramadhon saya juga puasa dan bayar zakat.”
 “Aku tidak menanyakan jenismu, atau perbuatanmu. Aku bertanya siapa kamu.” Fulan tidak bisa menjawab. Ia berbalik dari pintu gerbang langit, gagal masuk kedalamnya karena tidak mengenal siapa dirinya. Ada kalimat yang agung mengatakan, “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. “Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu”.
            Oh my God! Bagaimana jika ilustrasi di atas ternyata benar terjadi saat manusia sakaratul maut, saya yakin akan banyak sekali manusia yang gagal masuk ke dalam, karena saat sang Tuan rumah bertanya siapa kah gerangan yang datang, ia tak mampu menjawab, ya jelas tuan rumah tak akan membukakan pintunya, akhirnya dia pulang dan PASTI kebingungan, ia harus kemana, sebab jatahnya hidup di dunia telah usai. Raganya tak mungkin menerimanya lagi, rumah dan keluarganya tak kan mampu menjadi tempat pulang seperti biasanya. Allahuakabar, saya pun sangat bingung dan takut, karena suatu saat waktu ini akan benar-benar datang untuk menghentikan petualngan ku di tempat yang fana ini. Bagaimana jika saat itu tiba saya masih tidak tau siapa saya? Saya tak bisa membayangkannya. Apa saya masih bisa menangis? Berteriak? Atau bercerita pada ayah, ibu, keluarag dan teman dekat, seperti jika saya bingung atau ketakutan sewaktu ditengah petualangan saya? Inilah ketakutan dan kehawatiran yang saya rasakan sejak pertama jari saya mulai menari di atas keyboard untuk menulis komentar terhadap ilustrasi di atas.
            Sebuah pertanyaan simpel, sangat sederhana dan bahkan terkesan bodoh untuk ditanyakan, namun SANGAT susah untuk dijawab. Ya, inilah soal paling sederhana yang sering saya dengar namun hingga detik saya menulis ini saya tak tau jawaban yang tepat. “Siapa saya?” hanya 2 kata, namun perlu ratusan referensi yang harus dibaca, butuh waktu yang lama serta pemikiran yang sangat dalam untuk memikirkan jawabannya. Saya SANGAT yakin kok, bukan hanya saya yang kesulitan menjawab pertanyaan ini. Malam ini, sebelum menulis esai ini, saya berkumpul dengan teman satu kelas saya sambil bakar jagung dalam rangka melepas seorang teman saya yang akan ke Thailand menunaikan tugas dari kampus (wow, dia luar biasa yah). Saya teringat esai yang harus saya selesaikan, dengan tema yang menurut saya sangat sulit. Saya iseng dan coba bertanya pada beberapa teman saya “kamu siapa?” ada yang hanya menngangkat bahunya tanda tak mau meberi komentar, lalu ada yang bilang “saya mahasiswa”, “saya seorang gadis kecil yang manis dan suka warna pink (padahal dia udah mahasiswa keleessss),” saya adalah wanita cantik yang....”, “saya anak mama sama ayah” lalu ada jawaban yang membuat saya mulai berpikir lebih dalam “saya adalah insan yang diciptakan Allah SWT”, “saya adalah makhluk yang berasal dari tanah dan memiliki sifat tanah, mkanya saya gak pants bersifat langit”, wew, filsafat banget jawabannya.

            Lalu bagaimana dengan jawaban saya? Hingga huruf terkahir yang saya tulis ini saya masih tidak tau siapa saya. Yang saya tau, saya bagaikan daun kering yang terbawa angin, meski tak dapat melihat angin itu, tapi sang daun mampu merasakan energinya yang kuat, yang mampu membawanya kemanapun ia ingin. Meski tak pernah melihat bagaimana angin itu wujudnya, namun sang daun dapat merasaka bahwa angin itu ada. Angin itulah yang menentukan kemana arah daun kering akan melayang. Kadang saya juga berpikir, saya tak ubahnya seperti seorang aktris yang sedang memainkan perannya. Ada sutradara yang sudah menuliskan akan berperan sebagai siapa saya, bagaimana karakter saya, bagaimana jalan cerita hidup saya, dan seperti apa saya berakhir, yang semua itu telah ditulisnya dalam skenarionya. Saya hanya harus berperan sebaik mungkin, melakoni peran saya seapik yang saya bisa, mengikuti alur cerita yang telah dibuatnya, tanpa harus mengeluh apalagi mampu merubahnya. Karena Dialah yang menulis skripnya. Saya juga membayangkan bahwa saya adalah seorang petualang yang diberi tanggungjawab untuk berkelana hingga batas waktu yang telah ditentukan, diberi bekal yang luar biasa (peta berupa Al-Quran dan Hadits, payung berupa akal, makanan berupa nafsu dan keinginan, serta segala Rahman-Nya), saat pulang saya akan diberi hadiah jika selama perjalanan saya mampu menempuh jalan sesuai petunjuk peta yang telah diberi-Nya dan membawa banyak pahala dan mampu membuat Dia yang memberi saya bekal Ridho, namun saya akan mendapatkan hukuman jika ternyata yang saya tempuh adalah jalan yang tidak sesuai dengan peta tersebut hingga yang saya bawa pulang hanya dosa dan akhirnya membuat Dia marah. Oleh sebab itu, saya harus berhati-hati dalam menempuh petualangan ini, saya harus mampu mencapai tujuan pada waktu yang tepat (kematian) yang hanya mungkin didapat melalui jalan yang tepat (sesuai peta saya). Saya juga tak ubahnya bagai garam dilautan, Nama-wujud-sifat-gerak-ilmu-semuanya, bukan garam melainkan laut itu sendiri. "Inna rabbaka ahad - Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia[1]" [1] QS. Al Israa': 60. Saya bernama manusia, bersifat manusia, memiliki ilmu, namun sebenarnya sebutan saya bukanlah manusia, entahlah apa.

            Dari semua inilah saya merasa bahwa saya adalah bukan siapa-siapa, saya tidak akan terbawa kemanapun tanpa angin (Allah) yang membawanya, saya tidak akan ada jika sang sutradara (Allah) tidak menulis peran saya, saya hanyalah bagian dari garam dilautan yang meski nama saya ada, wujud saya sebenarnya ada, sifat, gerak, ilmu dan semua yang ada pada saya ada, namun tetap saja orang menyebutnya lautan.Tak ada yang menyebutnya garam, bahkan lautan garam, tak ada, namun lautan. Itulah saya sebagai manusia dan makhluk lainnya, meski sebenarnya ada dan terlihat, namun sebenarnya tidak ada, karena sesuatu yang ada berasal dari yang tidak ada, semua yanh tampak berasal dari sesuatu yang tidak tampak, semua yang bisa dilihat berawal dari sesuatu yang tidak bisa dilihat. Baca ilustrasi berikut untuk memperjelas pernyataan saya ini, yang saya ambil dari sebuah buku Quantum Ikhlas karangan Erbe Sentanu (2010:2)

“Dimasa lalu ada seorang guru bijak yang selalu menyelenggarakan kuliahnya dibawah sebuah pohon yang tinggi dan besar menjulang kelangit. Dan suatu hari ketika kelas sepianak laki-laki dari guru itu bertanya pada ayahnya dari manakah langit, bumi, dan seluruh isinya, termasuk manusia berasal. Kemudian sang ayah memintanya mengambil satu buah yang sudah kering dan banyak terserak dibawah pohon besar itu, memintanya untuk membelahnya dan melihat isinya. Ketika itu menemukan sebuah biji keringdi dalamnya, sang ayah memintanya untuk terus membelahnya hingga akhirnya menemukan bahwa biji itu ternyata kosong, hampa, tidak berisi apa-apa. Sang ayah kemudian menjelaskan kepada anaknya bahwa seperti pohon raksasa yang sudah berusia ratusan tahun itu, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bermula dari sesuatu yang tidak ada, kosong, dan hampa”. Dari sinilah jelas bahwa sebenarnya saya tidak ada, lalu siapa yang ada?.\

            Jika ditelisik dari sebuah hadits kudsi berikut yang saya ambil dari sebuah blog (http://kalempauu.blogspot.com/: 05 Juni 2015) dan semoga ini bukan hadis yang keliru, akan semakin jelas seperti apa sebenarnya saya jika terus dibelah seperti buah di atas, dan mampu menjawab pertanyaan di atas.

بَنَيْتُ فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغْافًا وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا (الحديث القدسى)
Artinya: “Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad) dan dalam mata hati (fuad) itu ada penutup mata hati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr) dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)

            Terlihat jelas bukan siapa saya sebenarnya? Tidak ada saya jika terus dibedah semakin dalam. Yang ada hanya Saya yang menciptakan saya. Dari sini pula lah saya mengerti bahwa tujuan saya sebenarnya bukan berusaha keras mencari jawaban siapa saya, tapi siapa Saya yang menciptakan saya. Bukan urusan saya untuk memikirkan diri saya sendiri. Urusan saya adalah untuk memikirkan Saya (Tuhan). Dan urusan-Nya lah untuk memikirkan saya. Karena saya itu sebenarnya tidak ada, yang ada hanya Saya. Ternyata inilah yang dimaksud kalimat agung di atas, “siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. Dan ini pulah yang sekaligus menjaid jawaban pertanyaan saya di atas. Entah ini jawaban yang benar atau tidak.

            Selain itu saya juga yakin, saya adalah produk masterpeacenya Saya“Allah”, ini saya yakini dari potongan bait dari surat-Nya yang indah dan selalu menenangkan hati:

Laqad khalaqnaa al-insaana fii ahsani taqwiimin – Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. QS. At Tiin: 4.

Dan kepada manusia, Allah sendirilah yang meniupkan ruh-Nya, “Fa-idzaa sawwaytuhu wanafakhtu fiihi min ruuhii - Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku”. QS. Shaad: 72.

            Dari dua ayat ini, saya yakin, dengan segala Rahman-Nya, ia ingin agar saya tidak hanya menjadi daun kering yang pasrah kemana sang angin membawa, aktris yang rela dengan tiap liku sandiwara yang ditulis untuknya. Dengan kesempurnaan itu, Ia ingin menguji produknya, apakah ia benar-benar layak dikatakan sang masterpeace? Dengan adilnya, Ia berikan kebebasan sang daun memilih dengan adanya arah timur, barat, selatan, dan utara. Ia beri kebebasan si aktris berlaku baik atau buruk dan Ia beri kesempatan padanya untuk memilih jalan cerita hidupnya yang pada dasarnya hanya ada dua pilihan, jalan cerita yang baik atau yang buruk. Terserah sang aktris. Dan Ia telah berikan petunjuk jalan kepada sang petualang dengan kebebasan mau membuka, membaca dan mengikutinya atau tidak, Ia tidak akan rugi sedikitpun dengan pilihan yang telah sang daun, aktris atau petualang (saya) tentukan.
            Karena saya bukanlah saya melainkan Saya, saya hanya ingin menitipkan padaNya setiap pilihan yang saya pilih, karena meski saya yang memilih namun pada akhirnya Saya jualah yang sebenarnya memilih. Kebebasan itu hadir sebagai permukaan, namun jika terus dibedah, maka pada akhirnya yang memilih adalah Saya, bukan saya. Oleh karena itu saya yakin betul, ketika saya MEMILIH apa pun itu di dunia ini, saya pasti mampu melakukannya karena sesungguhnya bukan saya yang memilih dan melakukan semua itu, melainkan Saya Yang Maha Kuasa melakukan apa pun dan Saya yang Maha Tau segalanya. Akhirnya, entah ini benar atau tidak, saya mulai menemukan siapa saya yang sebenarnya yang nyatanya tidak ada saya, melainkan Saya.