Oleh : Ust.
Muhcin Hariyanto, M.Ag
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya
(sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam
berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS
al-Baqarah, 2: 148).
Hidup
adalah fungsi dari waktu. Ia terus saja berjalan, tidak ada penundaan. Maka
tataplah jam yang melekat di dindingmu, adakah ia menunggu?
Ini
sebuah kisah tentang seorang lelaki surga yang tak mau menunggu, ia menjadi
yang terdepan dalam kebaikan. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah s.a.w.
memaparkan profil penghuni surga tanpa azab dan hisab mulai dari para nabi
hingga Nabi Muhammad. Para sahabat sudah mulai kasak-kusuk, menduga-duga,
gusar, bagaimanakah gerangan rupa istimewa tersebut?
Ketika
itu Nabi s.a.w. bertanya kepada para sahabatnya, “Apa yang kalian bicarakan?”,
maka setelah mereka memberitahukan, Sang Nabi s.a.w. pun bersabda, “Mereka
adalah orang-orang yang tidak melakukan ruqyah, tidak meramal yang buruk-buruk
dan kepada Rabbnya mereka bertawakkal.”
Tiba-tiba
saja, seorang lelaki bangkit dan berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia
menjadikan aku termasuk golongan mereka”. Setelah itu, ada lagi lelaki yang
bangkit, untuk kedua kalinya dengan permintaan yang sama, “Berdoalah kepada
Allah agar Dia menjadikan aku termasuk golongan mereka”, Rasulullah s.a.w. pun
menjawab, “Engkau sudah di dahului 'Ukasyah”.
Yah,
pemuda yang pertama kali bangkit adalah 'Ukasyah bin Mihsan. Ukasyah tidak
perlu menunggu untuk menjadi yang kedua. Karena keberaniannya pada kesempatan
yang pertama, permohonannya di ‘amini’ oleh Rasulullah s.a.w. Seperti api yang
menyala-nyala, seperti itulah semangat Ukasyah yang hadir di awal, bukan di
akhir. Inilah sahabat Rasulullah s.a.w., mereka memiliki satu budaya yang sudah
lama kita tinggalkan. Budaya Fastabiqû al-Khairât (berlomba-lomba
dalam kebaikan.)
“Mereka
itu bergegas segera dalam meraih kebaikan, Dan merekalah orang-orang yang
terdahulu memperolehnya," (QS al.-Mu’minûn, 23 : 61).
Ketika
turun ayat tentang hijâb, tanpa membuang tempo, para shahabiyah (para sahabat
perempuan Nabi s.a.w.) langsung mengambil kain-kain mereka dan melilitkan ke
seluruh tubuhnya. Para shahabiyah yang berada di pasar-pasar lantas tidak
langsung pulang ke rumah. Mereka memilih untuk bersembunyi di balik batu-batu
besar, menunggu malam yang sepi barulah mereka pulang ke rumah. Lagi-lagi Ini
adalah bukti, bahwa sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang memiliki budaya
Fastabiqû al-Khairât, budaya tak mau menunggu dan selalu berkompetisi dalam
ketaatan.
Faktanya,
kondisi kekinian dalam masyarakat kita berbeda, budaya kompetisi ini lebih di
gandrungi dalam ranah keduniaan. Kitapun Berlomba-lomba dalam memperkaya diri,
mempercantik rupa, menggagah-gagahkan sikap, mengejar jabatan, mencicil gelar
demi gelar dan menumpuk atribut-atribut keduniaan lainnya.
"Bukanlah
kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat
khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian,
kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti dimana yang
pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa
sebagaimana mereka juga binasa karenanya,” (HR Bukhari dan Muslim dari 'Uqbah
bin 'Amir).
Jikalaupun
kita memperoleh dunia, maka teruslah melangkah sebagai orang yang dititipi
amanah, berjalanlah sambil menunduk, indahkan titipan itu dengan keihklasan dan
niat pengabdian kepada umat.
Purwarupa
Orang-orang Pilihan
Fastabiqû
al-Khairât adalah purwarupa orang-orang yang terpilih. Dalam QS Fâthir. 35: 32,
Allah menggambarkan purwarupa manusia
menjadi tiga jenis.
“Kemudian
kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba
kami, lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang besar,” (Q Fâthir, 35: 32).
Jenis Pertama adalah mereka yang zalim. Keburukan
mereka lebih banyak daripada kebaikan yang mereka ukir. Mereka menghabiskan
usia pada perkara-perkara yang Allah tidak ridhai.
Jenis
yang kedua adalah mereka yang
pertengahan. Dalam artian, di satu waktu mereka melakukan keburukan tetapi di
waktu lain merekapun melakukan kebaikan. Merekalah orang yang ibadahnya jalan,
keburukannya pun jalan.
Dan
jenis yang ketiga adalah mereka yang
selalu membangun budaya Fastabiqû al-Khairât, berlomba-lomba dalam ketaatan.
Inilah karakteristik dari sahabat Rasulullah s.a.w.
Karena
budaya Fastabiqû al-Khairât inilah para sahabat Nabi s.a.w. pantas dikatakan
“khairu ummah” atau generasi yang terbaik. Mereka tidak pernah melewatkan
momentum untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Tak rela melepaskan
kesempatan untuk mengisi setiap desahan nafas dalam ketaatan kepada Allah.
Mereka selalu memaksimalkan setiap pintu kebaikan yang Allah bukakan.
Sejenak
menengok purwarupa di atas, adakah kita menjadi manusia jenis ketiga?
Jawabannya tentu kembali kepada diri kita masing-masing.
Saatnya
kita merenung, alangkah berbedanya ghirah/semangat beribadah para sahabat
dengan kebanyakan dari kita sekarang. Seringkali kita tidak memiliki semangat
untuk ber-fastabiqul khairat- . Kita seolah merasa cukup dan baik-baik saja
berada di luar arena, menjadi penonton atau bahkan komentator, pengeritik
perlombaan kebaikan yang dilakukan oleh orang lain.
Ketika
orang lain mengenakan hijâb secara sempurna, kita sering mengomentari mereka
“Terlalu 'ekstrim' lah, 'kampungan' lah” dan sebagainya. Ataupun di saat yang
lain bersedekah, kita berpikir mereka mungkin mencari muka atau ingin dibilang
pemurah. Ketika saudara kita menahan perkataan untuk mengamalkan sebuah hadis,
kita lantas menyimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang sombong yang pelit perkataan.
Dan di saat yang lain memanjangkan sujudnya, terbersit di hati, mereka hanya
ingin dikatakan khusyu’ saja.
Terkadang
kita memosisikan diri sebagai komentator dan kritikus tanpa terlibat dalam
perlombaan meraih ridha Allah.
Sebuah
peran yang teramat melelahkan, membuang-buang waktu. Adalah sebuah musibah jika
kita kehilangan kesempatan dalam ketaatan kepada Allah, lantas kita
tenang-tenang saja Tak inginkankah kita meraih surga seperti 'Ukasyah?
Maka
Jangan hanya jadi penonton, mari membangun budaya yang telah lama tertinggal.
budaya Fastabiqû al-Khairât. Sehingga di Akhirat nanti kita
termasuk orang-orang yang beruntung. Amin
Wallâhu A’lam...