Upaya memahami ideologi gerakan IMM merupakan hal yang
sangat penting. Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian
ilmu sosial. Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam gerakan
mahasiswa sangat minim. Maka, identitas ideology IMM yang niscaya terefleksikan
dalam praksis gerakan IMM perlu dikaji.
Dalam tataran konseptual sebenarnya IMM memiliki sebuah konsep yang
komprehensif. Trilogi Iman-Ilmu-Amal yang kemudian juga berkaitan dengan
Trilogi lahan garapan Keagamaan-Kemasyarakatan-Kemahasiswaan dan juga
trikompetensi kader Spiritualitas-Intelektualitas-Humanitas memiliki konsep
yang khas dibanding pola gerakan lain. Hal ini bisa dilihat dalam struktur
organisasi IMM yang ingin mengakomodasi semua realitas Mahasiswa : Bidang IPTEK
yang berorientasi pada Profesionalisme, Bidang Sosek yang berorientasi pada
Gerakan Kongkrit Pemihakan-Dakwah-Pemberdayaan dan Bidang Khikmah yang
berorientasi pada peran IMM sebagai organ intelektual kritis-etis-politis.
Dari asal katanya, kata intelek berasal dari kosa kata latin: Intellectus yang
berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Sedangkan kata intelektual berarti
suatu sifat cerdas, berakal, dan berfikiran jernih berdasarkan ilmu
pengetahuan. Kata intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki
kecerdasan tinggi atau juga disebut kaum cendekiawan.
Bila didasarkan pada pengertian harfiah tentang intelek atau intelektual yang
berkaitan tentang akal fikiran atau mentalitas berdasarkan kemauan berfikir Al
Qur’an banyak membahas. Sebagai contoh tentang akibat orang-orang bodoh. Pada
Surat Al An’aam ayat 119. dijelaskan tentang orang-orang yang melampaui batas
kerena tidak berpengetahuan. Atau surat Al An’aam ayat 144 tentang relasi
ketiadaan pengetahuan dengan kezaliman. Hal ini sejalan dengan pengakuan
keberadaan akal seperti pada Az Zumar ayat 91. dan kedudukan bagi orang yang
berilmu seperti ayat.
Dari istilah intelektual muslim (Islam) Dawam Raharjo mengartikan bahwa
ke-intelektualan adalah ekspresi dari ke-Islaman. Atau yang lebih jelas lagi,
ke-Intelektualan adalah konsekuensi dari ke-Islaman. Artinya, bahwa sikap,
budaya, kompetensi (dan status) intelektual seorang muslim adalah ekspresi dan
konsekuensi dari deklarasi ke-Islaman muslim tersebut. Sehingga tampak secara
tegas perbedaan antara orang Islam yang intelektual dan non-Islam yang
intelektual. Ke-intelektualan seorang muslim adalah dikarenakan ke-Islamannya,
sedangkan ke-intelektualan non muslim tidak berdasarkan ke-Islaman. Pengertian
di atas hanya berdasarkan sebab terjadinya suatu ke-intelektualan, sedangkan
hasil kongkrit (materiil) dari suatu ke-intelektualan non-muslim bisa saja
lebih canggih atau lebih primitive.
Dari konsep intelektual Islam, terlebih dahulu perlu dikaji konsep Ulil Albab.
Istilah Ulil Albab di dalam Al Qur’an terdapat pada beberapa ayat. Salah satu
ayat tertera pada Ayat ke 190-191 Surat Al Ali Imron.
“Sesungguhnya, dalam (proses) penciptaan langit dan bumi,
dan (proses) pergantian malam dan siang, adalah tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi ulil albab (orang-orang yang berfikir [menggunakan intelek mereka]). Yaitu
orang-orang yang berzikir (berlatih diri dalam mencapai tingkat kesadaran akan
kekuasaan Allah) dalam keadaan berdiri, duduk, dan dalam keadaan terlentang,
dan senantiasa berfikir tentang (proses) penciptaan langit dan bumi, (sehingga
mereka menyatakan) wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini dalam
keadaan sia-sia. Maha suci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS
3: 190-191)