Segala rutinitas yang mengantarkan aku pada kesibukan
mengurus karier, uang, dan kekuasaan (pekerjaan), boleh jadi telah mengeraskan
hatiku. Terlebih lagi jabatanku di perusahaan yang semakin strategis dan
menuntut tanggung jawab besar. Aku sadari juga ternyata itupun menjauhkan
diriku dari nilai-nilai ukhrawi yang sejak kecil ditanamkan oleh kedua orang
tuaku. Dan, ternyata di satu masa, hal-hal yang berbau agamis hilang begitu
saja digulung menjauh dari relung kalbu.
Saat ini, aku sudah berkeluarga dengan dua orang
putra-putri yang boleh kubanggakan. Kata orang aku tampan dan brilliant.
Istriku wanita karier yang tidak saja cantik dan pintar, tapi juga lemah lembut
keibuan. Pendeknya, rumah tanggaku dikaruniai kebahagiaan. Alhamdulillah...
Selama ini banyak hal-hal yang bersifat sosial diurus
dengan baik oleh istriku. Bantuan untuk anak yatim, rumah jompo, anak cacat,
pembangunan masjid, sekolah, dan lain-lain. O ya termasuk mengalokasikan dana
dari gaji kami untuk zakat, kurban, infak, dan sedekah. Aku sih tinggal
menerima laporan saja. Pokoknya tugas utamaku adalah mencari uang. Karena
bukankah hanya dengan uang kita bisa menyelesaikan semua masalah?
Walau kadang-kadang istriku mengingatkan aku agar tidak terlalu
keras bekerja. Aku cuma tersenyum kecut. Memangnya dari mana semua kemewahan
bisa diperoleh kalau tidak bekerja keras? Dari mana semua kebutuhan hidup dapat
diraih kalau bukan dengan uang?
Namun demikian, pandanganku soal materi lenyap begitu
saja ketika sore itu aku menemani istriku menyantuni anak-anak yatim di sebuah
panti asuhan di pinggiran kota Jakarta. Panti asuhan suram, kotor, dan penuh
dengan anak-anak kurus, pucat, dan bau. Pakaian yang dikenakan mereka sudah tak
layak pakai lagi. Mengapa sih istriku tidak mencari tempat santunan yang lebih
bersih gitu? Yang anak-anaknya lebih manis-manis, bersih, dan beradab. Huhh...
tahu begini malas deh aku nganterin!
Saat itu, acara kami bersilaturrahmi di panti asuhan
sudah hampir selesai. Semua anak sudah dibagikan pakaian baru, perlengkapan
sekolah, dan sejumlah buku cerita dan majalah anak-anak. Makanan, minuman,
serta sejumlah uang tunai yang dititipkan kepada ibu asrama cukup untuk
konsumsi sebulan panti.
Aku bersiap-siap hendak ke mobil, ketika seorang anak
perempuan sebaya Salsabilla, putriku berusia tujuh tahun, takut-takut
mendekatiku.
”Om....” tanyanya ragu.
”Ya, ada apa sayang?” aku mencoba ramah. Kulihat dia
tidak seperti anak lainnya. Kulitnya sawo matang bersih dan wajahnya cantik.
Matanya yang berbinar menunjukkan kecerdasan dan kemurnian hati.
”Om, bolehkah saya meminta sesuatu?”
”Mau minta apa lagi?” jawabku terdengar agak ketus. Aku
kaget juga mendengarnya.
”Eh.... ee, maksud Om, apa lagi yang kamu butuhkan?”
kucoba memperbaiki diri saat kulihat bola matanya mulai digenangi air mata.
”Bo-bolehkan sasa-saya minta se..se..suatu?” tanyanya
terbata dengan suara nyaris hilang diembus angin.
”Tentu saja boleh, Sayang. Mau boneka Barbie?” aku
teringat Salsa yang mengoleksi lengkap dengan rumah, pakaian, dan pernik-pernik
lainnya. Tapi gadis kecil ini menggelengkan kepala.
”Hmmm..., sepatu baru mungkin?” aku mencoba mulai bermain
teka-teki. Dia masih tetap menggeleng.
”Atau sebuah sepeda mini?” Tapi tetap saja dia
menggeleng. Aku jadi kesal. Mau minta apa sih? Uang barangkali, omelku dalam hati.
”Apa Om enggak marah?” tanyanya takut-takut. Aku
menggeleng menyejajarkan pandanganku dengan matanya sambil memegang kedua
bahunya.
”Katakan sayang, mau minta apa?”
”Mmm, mmm, bolehkah saya memanggil Om, ayah?” tuturnya
dengan penuh keraguan. "Saya, saya tidak pernah punya ayah. Kata Ibu Tien,
kepala panti, Bapak mati ditabrak kereta api waktu saya masih di dalam perut
Emak. Saya kepingin sekali punya ayah. Bolehkah saya memanggil Om, ’Ayah’?”
Duhai Allah... ada apa ini? Mengapa seorang anak panti
tidak tertarik dengan benda-benda mahal yang kutawarkan kepadanya? Dia hanya
ingin memanggilku Ayah. Aku tak pernah menangis. Kehidupan yang keras telah
mengajariku lupa menitikkan air mata, pun saat shalat yang hanya sekali-sekali
kulakukan. Itu pun saat Ramadhan dan berbuka puasa bersama para relasi dan
kerabat.
Tapi saat ini hatiku terguncang hebat. Allah SWT secara
telak mengalahkanku. Astaghfirullah al’-azhiim... Kupeluk dia erat-erat,
”Tentu saja sayang, kamu boleh memangilku Ayah”.
”Betul?” wajahnya menyiratkan rasa tidak percaya namun
bahagia. Kami berpelukan beberapa saat.
”Ayah, bolehkah saya minta satu lagi?” aku mengangguk.
”Bolehkah saya minta foto Ayah, Ibu, dan Kakak-kakak?
Saya akan kasih lihat teman-teman di sekolah bahwa saya juga punya keluarga
sama seperti mereka. Boleh?”